Pesantren merupakan kawah candradimuka, tempat di mana para santri ditempa secara lahir dan batin dalam rangka pendalaman ilmu pengetahuan dan adab. Inilah yang membedakan antara pelajar sekolah umum dan santri. Santri terdidik secara intelektual dan juga hati. Para santri memahami bahwa ilmu merupakan cahaya yang dipancarkan oleh Allah swt., dan untuk dapat menerima cahaya tersebut mereka harus ‘dalam kondisi hati yang siap’. Untuk sampai pada kondisi tersebut, dibutuhkan proses, yang biasanya disebut dengan “prihatin”.

Substansi dari prihatin adalah tidak menuntut, tidak berlebihan, dan tidak gemar mencari kenyamanan dalam kehidupannya selama di pondok, baik dalam berpakaian dan makanan. Hal ini bertujuan untuk mendidik hati untuk selalu bersyukur, nerimo, dan menghindarkan penyakit hati seperti tamak, dan rakus. Sehingga, hati santri menjadi jernih. Dalam hati yang jernih ini, cahaya ilu pengetahuan akan mudah untuk diterima (qabil).

Dalam Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim karangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada Bab Adabul Muta’allim ma’a Nafsih, beliau menjelaskan bahwa santri harus berhati-hati dalam kesehariannya. Jangan sampai ia menggunakan pakaian, alat-alat, tempat yang digunakan serta mengonsumsi sesuatu yang tidak halal. Sebab barang-barang haram akan menutup mata hati mereka dan berdampak pada sulitnya menerima ilmu pengetahuan. Dalam ilmu akhlak, hal ini disebut dengan wira’i.

Unsur pertama dalam prihatin adalah dalam segi berpakaian. Tidak sewajarnya santri saling berlomba-lomba mempermewah pakaian mereka, terlebih jika itu dilandasi perasaan gengsi. Santri harus neriman (qanaah), tidak malu menggunakan pakaian seadanya selama itu masih bisa berfungsi untuk menutupi aurat dan tidak bertentangan dengan kepatutan sosial.  

Unsur kedua adalah dalam hal makanan dan minuman. Seorang santri harus siap mengonsumsi makanan dan minuman seadanya. Selain itu santri dianjurkan untuk tidak berlebihan dalam porsi makanan. Sebab, perut yang kenyang berakibat badan terasa berat, menjadi malas, dan pada akhirnya akan mengganggu aktivitas belajarnya di pesantren. Justru, santri dianjurkan untuk makan sekadarnya, selama sudah cukup untuk mengisi tenaga untuk beribadah dan belajar. Makan dan minum secukupnya berfaedah meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, serta menjernihkan hati. Para ulama, imam, dan wali besar ketika masa ‘mondok’ biasanya melanggengkan tirakat lapar ini.

Selain menjaga perut dari rasa kenyang yang berlebihan, juga diajarkan kepada santri agar selektif dalam memilih makanan. Sangat dianjurkan bagi mereka untuk menghindari makanan-makanan yang menyebabkan lambannya berpikir, lemahnya indra, dan penyebab badan menjadi berat, seperti susu, ikan-ikanan, dan daging-dagingan.

Selain itu, makna prihatin yang melekat dalam keseharian santri adalah tidak banyak tidur, selama tidak membahayakan kesehatan dan daya pikirnya. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyarankan tidur santri tidak lebih dari delapan jam sehari. Santri seyogianya beristirahat hanya ketika badannya lemah, pikirannya lelah akibat belajar atau sakit. Setelah semua keletihan itu usai, santri harus kembali bersemangat belajar seperti sedia kala.

Jika santri telah mampu memiliki sifat ini, diharapkan akan terbentuk karakter pribadi yang kuat dan bersih, memiliki keteguhan dalam proses belajar, dan tidak cengang, tahan banting, tidak manja. Lama kelamaan hati seorang santri akan terbuka dan akan semakin mudah menerima cahaya ilmu. Imam al-Syafi’I pernah mengungkapkan pentingnya hal ini:

Seorang pencari ilmu tidak akan beruntung (mudah memperoleh pengetahuan) jika dalam belajarnya berada dalam kemewahan dan kehidupan yang lapang. Mereka yang mencari ilmu dalam kesederhanaan dan pengabdian kepada ulama akan lebih mudah menerima cahaya ilmu

Pada zaman serba berkemudahan seperti sekarang ini, santri jangan sampai dimanjakan oleh kemewahan. Santri harus melihat ke belakang bagaimana ulama zaman dahulu berjuang memperoleh ilmu pengetahuan, agar santri dapat seperti beliau-beliau yang diangkat derajatnya di hadapan Allah swt., karena ilmu. Semoga santri-santri PPNU menjadi pribadi yang berkarakter kuat, cerdas dan berakhlakul karimah, dan bermanfaat.

 

Categories: Budaya Santri

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *