Penggunaan aksara pegon di pesantren salaf telah menjadi tradisi yang mengakar cukup kuat. Hampir setiap hari santri selalu berinteraksi dengan sistem penulisan pegon, baik dalam bentuk pembacaan maupun penulisan.
Pegon (ada juga yang menyebutnya aksara gundhul [Ricci, 2023:2] atau gundhil [Pigeaud, 1967:26]) secara harfiah berasal dari “pego”, kata Bahasa Jawa yang memiliki arti menyimpang atau tidak lazim sebagaimana pakem atau peruntukan kaidahnya. Mengapa demikian? Karena tidak dapat disebut aksara Arab murni, juga bukan aksara Jawa. Dalam ilmu filologi, pegon adalah aksara Arab yang dimodifikasi untuk digunakan menulis bahasa Jawa. Pegon ini digunakan untuk mengganti Ha-na-ca-ra-ka dan pada perkembangannya menjadi varian baru aksara Arab. Sejak awal, pegon digunakan untuk menulis literatur Jawa yang memiliki muatan agama Islam, dan barang kali digunakan untuk membedakan dengan literatur serupa yang dianggap tidak mewakili konten-konten religius. Pegon ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan aksara Jawi untuk menulis Bahasa Melayu dan Araputtamil untuk Bahasa Tamil (Ricci, 2011:173-175).
Beberapa modifikasi pegon dari Arab bertujuan untuk menyesuaikan fonologi bahasa Jawa, seperti o, c, p, ny, dha, tha, g, ng, dan e yang tidak ditemui di huruf hijaiyah. Perubahan ini pada dasarnya dilakukan dengan menambah titik dari huruf-huruf Arab yang sudah ada serta syakal dengan tanpa mengurangi jumlah huruf Arab. Alhasil, alfabet Arab-Pegon secara keseluruhan berjumlah 35 huruf, di mana tujuh diantaranya adalah hasil modifikasi, diantaranya: jim (c), dal (dha), tha’ (tho), fa’ (p), ‘ain (ng), kaf (g), dan ya’ (ny) dengan masing-masing ditambahi menjadi tiga titik. Sementara (e) menggunakan harakat seperti mad namun dengan lengkungan lebih panjang dan ditulis agak miring.
Pegon digunakan di pesantren salaf untuk mengapsahi kitab. Apsahi (ada juga yang menyebutnya ‘maknani’) adalah istilah membuat anotasi bahasa Jawa dalam lembaran-lembaran kitab yang berbahasa Arab. Biasanya, pegon tertulis menggantung di di teks aslinya. Oleh karenanya, sering juga disebut dengan “makna gandhul“. Proses penulisan ini dilakukan sembari mendengarkan kiai atau guru membaca kitab dengan makna utawi iki iku. Pembacaan makna semacam ini membantu memahamkan santri atas makna teks arab kata-per-kata (word by word) sekaligus menajamkan identifikasi kedudukan gramatikal dari setiap kata itu. Tentu butuh poses panjang untuk sampai pada level demikian, namun tonggaknya adalah memahami ilmu alat, aksara pegon, dan teknik apsahan.
Banyak kitab-kitab yang dipublikasikan lengkap dengan apsahan pegon. Bahkan, nazam-nazam dan natsar ilmu-ilmu agama dengan bahasa jawa juga ditulis menggunakan pegon. Khazanah ini merupakan anugerah dari Allah SWT yang telah memberikan kreativitas kepada para sarjana muslim tanah jawa terdahulu, sehingga para santri yang belum memahami bahasa arab tetap dapat mengakses pengetahuan melalui bahasa mereka sendiri.
Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama Kota Tegal sendiri juga mentradisikan penggunaan pegon sebagai tulisan primer dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan, upaya pelestarian aksara pegon diwujudkan dengan memasukkannya ke dalam kurikulum muatan lokal yang dipelajari selama dua semester. Santri baik putra maupun putri dalam prosesnya diwajibkan untuk menguasai pembacaan dan penulisan aksara pegon.
Rujukan:
- Anam, A. Khairul (ed). 2013. “Huruf Pegon, Pemersatu Ulama Nusantara”, NU Online. Visit Source.
- Pigeaud, T. G.Th. 1967. Literature of Java: Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands, Dordrecht: Springer Dordrecht. Visit Source
- Ricci, Ronit. 2023. Storied Island: New Explorations in Javanese Literature, Leiden: Brill. Visit Source.
- —————. 2011. Islam Translated: Literature, Conversion, and the Arabic Cosmopolis of South and Southeast Asia, USA: The University of Chicago. Visit Source.
0 Comments